Jumat, 20 Mei 2016

Egrang Permainan Tak Tergerus Oleh Jaman : Catatan Rumah Baca Bambu Biru

Lomba permainan tradisional Egrang, Rumah Baca Bambu Biru, Cicantayan, Sukabumi
Egrang? Egrang teh nu kumaha? Pertanyaan itulah yang muncul ketika pertama kali dikatakan akan diadakan permainan Egrang kepada Adik-Adik di Rumah Baca BambuBiru. Permainan ini hampir tak dikenal baik oleh mereka, syukurnya beberapa anak masih mengenal permainan egrang dengan sebutan Jajangkungan. Sebelumnya,mereka tidak pernah memainkan permainan ini.
Lalu untuk menjawab pertanyaan 'Egrang teh nu kumaha?' (Bagaimana permainan egrang itu?), pengelola membuat alat permainan egrang ini sebelum lomba dilakukan, agar mereka mencoba terlebih dulu bagaimana asiknya memaminkannya. Permainan egrang ini sebenarnya bukan permainan yang asing bagi warga Cibiru pada era 90an. Orang-orang Kampung ini terbiasa membuatnya, apalagi Cibiru dikenal sebagai salah satu desa penghasil bambu. Jika ingin membuatnya, bambu tinggal diambil di dekat rumah atau memotong bambu yang ada di hutan. Namun itu masa lalu, seiring waktu anak-anak kampung mulai tidak mengenalnya.
Nah, lalu apa yang terjadi setelah egrang dibuat oleh pengelola Rumah Baca Bambu Biru? Anak-anak ternyata sangat antusias memperhatikan ketika egrang dibuat dan seolah tak sabar ingin mencoba memainkannya. Anak laki-laki dan perempuan sama saja, mereka seolah penasaran bagaimana rasanya berdiri di atas bambu yang tinggi tersebut?

Apa itu Egrang?
Egrang adalah alat permainan tradisional yang terbuat dari 2 batang bambu dengan ukuran lengan orang dewasa dan di bagian bawahnya terdapat tumpuan yang dibuat dengan bahan bambu agak besar. 
Permainan ini sebenarnya dikenal dibanyak daerah di Indonesia, tetapi seiring jaman permainan ini tampaknya mulai tak seterkenal games gadget yang awam dimiliki anak-anak di era teknologi sekarang ini. Egrang dapat dijumpai di berbagai daerah aneka nama, seperti: di Sumatera Barat dengan nama Tengkak-tengkak dari kata Tengkak (pincang), Bengkulu dikenal dengan nama Ingkau yang artinya sepatu bambu (dalam bahasa Bengkulu), di Jawa Tengah dengan nama Jangkungan yang berasal dari nama burung berkaki panjang,nah kalau di Kampung Cibiru, Desa Cicantayan dikenal dengan nama Jajangkungan.
Egrang dibuat dari batang bambu dengan panjang kurang lebih 2,5 meter dan pada bagian bawah dibuat tumpuan dengan jarak sekitar 50 cm untuk tempat berpijak kaki. Lebar tumpuan kurang lebih 20 cm. Ukuran permainan egrang bisa dibuat sesuai dengan tubuh anak-anak atau orang dewasa. Nah waktu perlombaan egrang (15 Mei 2016) lalu, egrang dibuat untuk ukuran anak-anak dengan panjang sekitar 2 meter dan dibuat dengan bahan bambu yang agak kecil. 
Memcoba Egrang, Rumah Baca Bambu Biru, Desa Cicantayan, Sukabumi
Egrang, Jangan Biarkan Punah Digerus Zaman 
Jangan sampai digerus zaman, itulah yang dipikirkan oleh pengelola Rumah Baca Bambu Biru. Jangan sampai anak-anak di Kampung Cibiru tidak mengenal Egrang. Egrang harus digemarkan kembali dan menjadi salah satu permainan anak yang disenangi di Kampung Cibiru.
Mencoba Egrang, Rumah Baca Bambu Biru, Desa Cicantayan, Sukaumi
Setelah egrang dibuat, benar saja anak-anak antusias sekali mencobanya. Dua hari sebelum perlombaan, sebagian besar anak-anak berani mencoba dan berhasil memainkannya dengan berdiri dan berjalan dengan menggunakan egrang. Bahkan sudah ada yang berhasil berlari dengan menggunakan egrang. Rupanya permainan egrang ini tak sulit dimainkan oleh anak-anak diKampung Cibiru. Mereka dengan cepat berhasil menjaga keseimbangan dengan berdiri di atas egrang. 

Lalu bagaimana ceritanya saat perlombaan Egrang? Nanti ya diceritakan lagi bagaimana pengalaman anak-anak saat perlombaan egrang :)

_____________________________________________________________________
Permainan Egrang, Tak Lengang Tergerus Jaman (Bagian 2)
Melanjutkan tulisan sebelumnya, setelah anak-anak mencobanya Egrang dan berlatih selama 2 hari sebelum perlombaan. Akhirnya ada sekitar 18 anak yang turut serta perlombaan Egrang pada Hari munggu, 15 Mei 2016 lalu. Saya sendiri cukup terkesima melihat antusiasnya anak-anak dalam bermain engrang. Permainan tradisional yang saya pikir susah untuk dimainkan, ternyata menjadi hal mudah bagi anak-anak untuk menaiki dan menjaga kesemibangannya beridiri diatas dua bambu. “Udah pada bisa belum jalan pakai egrang?” Tanya saya pada anak-anak yang siap berlomba. “Bisaaaaa,” mereka menjawa secara serentak.
Sebelum perlombaan  dimulai, anak-anak disuruh mendaftarkan namanya kepada Kang Pibsa (ketua pengelola Rumah Baca Bambu Biru), mereka menuruti,anak laki-laki dan perempuan mendaftar secara bergantian. Pengelola rumah baca tidak membedakan peserta perlombaan antara laki-laki dan perempuan, mereka diperlakukan sama. Karena dengan cara tersebut, anak laki-laki akan lebih menghormati temannya yang perempuan. Tanpa membedakan perlakuan diantara mereka, perempuan dan laki-laki dimainkan dalam satu perlombaan egrang. Semua mengantri mendaftar perlombaan dan membuat Kang Pibsa lebih awas memperhatikan siapa saja peserta perlombaan egrang.
Karena pesertanya ada 18 orang, maka perlombaan dilakukan dengan babak penyisihan, hingga ada tiga orang yang nantinya menjadi peserta final. Setiap babak penyisihan melibatkan 3 orang, lalu diadu kecepatan diantara mereka. Siapa yang lebih dulu menyentuh garis Finish, maka secara otomatis sebagai peserta yang dapat melanjutkan ke babak selanjutnya.
Penyisihan pun dilakukan, ada saja kejadian lucu. Ada yang terjatuh masih tiga langkah. Ada yang berjalan dengan santai saja. Ada pula anak-anak yang tubuhnya bergoyang dan terhempas ke tanah. Tetapi itu bukan halangan untuk mereka mengikuti perlombaan.  Mereka tertawa ketika terjatuh dan menariknya siap siaga membantu peserta lainnya agar cepat berdiri kembali diatas egrang. Syukurnya tidak ada luka serius, kalau hanya lecet kecil saja itu biasa. “Aduh nyeri oge euy, jatuh tadi,” terdengar beberapa orang anak mengeluh setelah mengikuti perlombaan.
Hingga, singkat kata setelah melalui babak penyisihan, antara semua peserta baik laki-laki dan perempuan, ada 3 orang yang berhasil mencapai babak final perlombaan. Ketiga orang anak yang berhasil masuk final, sepertinya paling jagoan memainkan egrang. Mereka sudah bisa seperti berlari diatas egrang. Kagum melihatnya, padahal baru beberapa hari berhasil menjaga keseimbangan di atas egrang. Akhirnya salah seorang peserta memenangkan perlombaan egrang. Maaf tidak bisa menyebutkan nama anak tersebut, kalau mau tahu, silahkan datang ke Kampung Cibiru, biar bisa berkenalan dan foto-foto sambil bermain egrang bersama kami.
Permainan tradisional Egrang terbukti sangat diminati oleh mereka. Permainan yang harus dilakukan di luar ruangan yang luas ini, selalu dilakukan secara bersama. Setelah perlombaan, anak-anak sering meminjam egrang ke Rumah Baca Bambu Biru. Mereka terus memainkannya, hingga bisa berdiri tegak dan berlari dengan egrang.
Bagi pengelola Rumah Baca Bambu Biru yang sebagian besar generasi 90an, merasa bahagia melihat permainan ini bisa terus dimainkan. Tak hanya bernostalgia meratapi kepunahan permainan lama, tetapi egrang ini terus dimainkan oleh anak-anak generasi sekarang. Wahai pembaca sekalian, tahukah anda, egrang mampu membuat anak-anak bermain bersama, berbagi tawa, saling membantu, dan terus memperhatikan kawannya saat bersama-sama bermain.
Egrang, pemainan ini diharapkan terus ada di Kampung Cibiru dan ada mimpi akan menjadi salah satu ciri khas dari Rumah Baca Bambu Biru. Ciri khas bagi Kampung Cibiru, si Kampung Egrang.

0 komentar:

Posting Komentar